ILMU TIADA AMALAN BAGAIKAN POHON TIDAK BERBUAH

Kamis, 19 Januari 2012

HIMPUNAN


Himpunan
Himpunan adalah suatu kumpulan obyek yang dapat didefinisikan dengan jelas. Obyek-obyek dalam himpunan tersebut dinamakan anggota himpunan.

Contoh I.1 :
1. Himpunan bilangan 2, 4, 6 dan 8.
2. Himpunan : pena, pensil, buku, penghapus, penggaris.
3. Himpunan : Negara-negara Uni Eropa.

Secara matematik, himpunan dapat dinyatakan dengan tanda kurung kurawal dan digunakan notasi huruf besar. Jika himpunan di atas ditulis secara matematik diperoleh :
1. A = {2, 4, 6, 8 }
2. B = { pena, pensil, buku, penghapus, penggaris }
3. C = { Negara-negara Uni Eropa }
Untuk membentuk himmpunan dapat digunakan metode Roster (tabelaris) yaitu dengan menyebut atau mendaftar semua anggota, seperti pada himpunan A dan B, sedangkan metode lainnya adalah metode Rule yaitu dengan menyebut syarat keanggotaannya. Sebagai contoh penggunaan metode Rule adalah
                                                C = { x | x negara-negara Uni Eropa }
Kalimat dibelakang garis tegak ( | ) menyatakan syarat keanggotaan.

Jika suatu obyek merupakan anggota dari suatu himpunan maka obyek itu dinamakan elemen dan notasi yang digunakan adalah Î; sebaliknya jika bukan merupakan anggota dinamakan bukan elemen, dan notasi yang digunakan adalah Ï. Sebagai contoh, jika himpunan E = {1, 3, 5, 7 }maka 3 Î E sedangkan 2 Ï E. Banyaknya elemen dari himpunan A dikenal dengan nama bilangan cardinal dan disimbolkan dengan n(A). Berarti pada contoh di atas n(E) = 4.

Himpunan A dikatakan ekuivalen dengan himpunan B jika n(A) = n(B), dan biasa disimbolkan dengan A ~ B. Berarti jika A dan B ekuivalen maka dapat dibuat perkawanan satu-satu dari himpunan A ke himpunan B dan sebaliknya. Pada contoh diatas himpunan A={2, 4, 6, 8} ekuivalen dengan himpunan E={1, 3, 5, 7}. Dalam hal ini jika A = B maka pasti A ~ B tetapi tidak berlaku sebaliknya.

Catatan :
Pada saat menyatakan himpunan harus diperhatikan bahwa :
(i)                 Urutan tidak diperhatikan, himpunan {2, 4, 6, 8}, {2, 8, 4, 6} dipandang sama dengan {2, 6, 4, 8}
(ii)               Anggota-anggota yang sama hanya diperhitungkan sekali, {1, 1, 3, 3, 5, 7} dan {1, 3, 5, 7, 7, 7} dipandang sama dengan {1, 3, 5, 7}.

Himpunan semesta (universal set) adalah himpunan semua obyek yang dibicarakan. Himpunan semesta dinotasikan S atau U. Sebagai contoh jika A ={2, 4, 6, 8} maka dapat diambil himpunan semestanya U = {bilangan genap} atau U = {himpunan bilangan asli} dan lain-lain. Himpunan kosong adalah himpunan yang tidak mempunyai anggota, dalam hal ini digunakan notasi Æ atau { }. Sebagai contoh jika
                        D={bilangan ganjil yang habis dibagi dua}
maka D = Æ atau D = { }.

Diagram Venn adalah diagram untuk menggambarkan suatu himpunan atau relasi antar himpunan. Himpunan yang digambarkannya biasanya dalam bentuk lingkaran dan anggotanya berupa titik dalam lingkaran dan himpunan semestanya dalam bentuk persegi panjang. Sebagai contoh jika diketahui himpunan E = {1, 3, 5, 7}dan himpunan semestanya adalah himpunan bilangan genap U maka dapat dibuat diagram Vennnya.  

Himpunan A dikatakan sebagai himpunan bagian dari B artinya setiap anggota A merupakan anggota B. Dalam hal ini digunakan notasi A Í B. Sebagai contoh himpunan A = {2, 4, 6, 8} himpunan bagian dari F = {2, 4, 6, 8, 10, 12} atau A Í F. Relasi antara A dan F dapat dinyatakan dalam diagram Venn.

Himpunan A bukan himpunan bagian himpunan G ={1, 3, 6, 8} atau A Ë G karena ada anggota A (misalnya 1) yang bukan anggota G. Perlu dicatat bahwa himpunan kosong merupakan himpunan bagian dari sebarang himpunan, sehingga Æ Í A.

Dari suatu himpunan A dapat dibuat himpunan kuasa yaitu himpunan yang anggota-anggotanya adalah himpunan bagian dari himpunan A dan notasi yang digunakan adalah 2A.  Sebagai contoh himpunan H={1, 2} maka  2H={Æ,{1},{2},{1,2}}.
Dalam hal ini n(2A) = 2 n(A) = 22 = 4.

Himpunan A memuat himpunan B yang diberi notasi A É B berarti B Í A. Sebagai contoh himpunan A ={1, 3, 5, 7} memuat himpunan K={1, 3}atau A É K.
Dua  himpunan A dan B  dikatakan  sama  (yang dinotasikan dengan A=B)  jika A Í B dan B Í A. sebagai contoh { x  | 5x-15 = 0 } = { 3 }.
Dua himpunan A dan B dikatakan saling asing jika masing-masing tidak kosong dan A Ç B=Æ. Sebagai contoh himpunan A={1, 3, 5, 7} saling asing dengan himpunan E={2, 4, 6, 8}.
Komplemen himpunan A adalah semua anggota dalam semesta yang bukan anggota A.  Notasi komplemen A adalah AC.  Secara matematik dapat ditulis sebagai
AC ={x | xÎU dan xÏA}.
Sebagai contoh jika U = {1, 2, 3,…, 10} dan A = {3, 5, 7} maka AC={1, 2, 4, 6, 8, 9,10}. Relasi antara himpunan A dan komplemennya dapat dinyatakan dalam diagram venn berikut:




Dalam hal ini UC=Æ dan ÆC=U.

Gabungan dua himpunan A dan B adalah suatu himpunan yang anggota-anggotanya terdiri atas semua anggota dari himpunan A atau B. Notasi yang digunakan adalah A È B. Secara matematika A È B={x | xÎA atau xÎB}. Sebagai contoh jika A={a, i, e} dan  B={i, e, o, u} maka  AÈB={a, i, e, o, u}.  Dalam  hal  ini  berlaku  sifat A Í (A È B} dan B Í (A È B}dan juga A È AC = U.

Irisan dari dua himpunan A dan B adalah suatu himpunan yang anggotanya terdiri atas anggota himpunan A yang juga merupakan anggota himpunan B. Dalam hal ini digunakan notasi A B. Secara matematik A Ç B ={x | x Î A dan x Î B } dan dapat dibuat diagram Venn untuk irisan. Sebagai contoh jika A={2, 3, 5, 7} dan B={2, 4, 6, 8}maka A Ç B ={ 2 }. Dalam operasi irisan berlaku bahwa (A Ç B) Í A dan (A Ç B) Í B dan juga A Ç AC = Æ .

Selisih antara himpunan A dan himpunan B adalah anggota A yang bukan B. Notasi yang digunakan adalah A-B. Secara matematik A-B = { x | x Î A dan x Ï B }. Sebagai contoh jika A={1, 2, 3, 4, 5} dan B={3, 4, 5} maka A-B={ 1, 2 }.

Jumlahan himpunan A dan B adalah himpunan A saja atau himpunan B saja tetapi bukan anggota A dan B. Dalam hal ini digunakan notasi A + B. Secara matematik dapat dinyatakan sebagai A+B={x | x Î (A È B) tetapi x Ï (A Ç B) }. Sebagai contoh jika A={1, 2, 3, 4, 5,} dan B={2, 4, 6} maka A+B={1, 3, 5,6}.
Catatan bahwa :A+B = (A È B)-(A Ç B) atau A+B =(A - B) È (B - A).

Hukum-hukum aljabar himpunan:
  1. Komutatif : A Ç B =  B Ç A  dan  A È  B =  B È A.
      2.   Assosiatif : A Ç (B Ç C) =  (A Ç B) Ç C dan A È (B È C) =  (A È B) È C.
      3.  Idempoten : A Ç A = A  dan  A È A = A.
      4.  Distributif : A Ç (B È C) = (A È B) È (A Ç C) dan
                                    A È (B Ç C) = (A È B) Ç (A  È C).
      5.  De Morgan : (A Ç B)c =  Ac È Bc  dan (A È B)c = Ac Ç B.
        6.  Jika A Í B maka A Ç B = A dan A È B = B.

Himpunan bilangan
      Himpunan bilangan asli N = {1, 2, 3, 4, 5, …. }.
      Himpunan bilangan prima P = {2, 3, 5, 7, 11, 13, …. }.
      Himpunan bilangan cacah C = {0, 1, 2, 3, 4, …. }.
      Himpunan bilangan bulat Z = {…., -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, …. }.
      Himpunan bilangan Real R adalah himpunan yang memuat semua bilangan anggota                                              
      garis bilangan.
      Himpunan bilangan Rasional Q = {a/b | a, b Î Z dan b ¹ 0}.
      Himpunan bilangan irrasional R – Q =Q = { x Î R | x Ï Q }.

2. Operasi biner
Dalam aljabar tidak hanya dibahas tentang himpunan tetapi juga himpunan bersama dengan operasi penjumlahan dan pergandaan yang didefinisikan pada himpunan.

Definisi I.1
Misalkan A himpunan tidak kosong.
Operasi biner * pada A adalah pemetaan dari setiap pasangan berurutan x, y dalam A dengan tepat satu anggota x * y dalam A.

Himpunan bilangan bulat Z mempunyai dua operasi biner yang dikenakan padanya yaitu penjumlahan (+) dan pergandaan (.). Dalam hal ini untuk setiap pasangan x dan y dalam Z, x + y dan x .y dikawankan secara tunggal dengan suatu anggota dalam Z.
Operasi biner mempunyai dua bagian dari definisi yaitu:
  1. terdefinisikan dengan baik(well-defined) yaitu untuk setiap pasangan berurutan x,y dalam A dikawankan dengan tepat satu nilai x*y.
  2. A tertutup di bawah operasi * yaitu untuk setiap x, y dalam A maka x*y masih    dalam A.

Contoh I.2:
Diketahui N himpunan semua bilangan bulat positif.
Didefinisikan * dengan aturan x*y  = x - y.
Karena 3, 5 dalam N dan 3*5 = 3-5 = -2 tidak berada dalam N maka N tidak tertutup di bawah operasi * sehingga * bukan operasi biner pada N.

Contoh I.3 :
Didefinisikan operasi # dengan aturan x # y = x + 2y dengan x,y dalam    
                                                N = {1, 2, 3, … }
Akan ditunjukkan bahwa # merupakan operasi biner.
Jelas bahwa # terdefinisikan dengan baik karena rumus x + 2y memberikan hasil tunggal untuk setiap x,y dalam N.
Untuk sebarang x,y dalam N maka jelas bahwa x + 2y masih merupakan bilangan bulat positif. Lebih jauh 2y + x > 0 jika  x > 0 dan  y > 0.
Berarti hasil dari x + 2y masih merupakan bilangan positif dan akibatnya P tertutup di bawah operasi  #.

3. Hukum-hukum Aljabar

Suatu system aljabar terdiri dari himpunan obyek dengan satu atau lebih operasi yang didefinisikan padanya.Bersama dengan hkum-hukum yang dibutuhkan dalam operasi.


Definisi I.2
Misalkan * operasi biner pada himpunan A.
(1) operasi * assosiatif jika (a * b) * c =  a * (b *  c) untuk semua a, b, c dalam A.
(2) operasi * komutatif jika a*b = b*a untuk semua a, b dalam A.
Dalam pembahasan selanjutnya hokum-hukum dasar aljabar untuk penjumlahan dan pergandaan yang didefinisikan pada bilangan bulat Z dan bilangan Real R sebagai aksioma (axioms) yaitu diterima tanpa bukti.

Contoh I. 4 :
Operasi * didefinisikan pada himpunan bilangan real R dengan a * b = (1/2) a b.
Akan ditunjukkan bahwa * assosiatif dan komutatif.
Karena (a * b) * c = (1/2 a b) * c
                         =1/2((1/2 a b) c)
                         =1/4(a b)c
dan pada sisi lain
            a * (b * c)=a  *(1/2) bc)
                        = (1/2)a((1/2) bc)
                        = ¼ (a b) c
untuk semua a, b  dan c dalam R maka * assosiatif.
Karena a * b = (1/2) a b
                   = (1/2) b a  = b*a.
Untuk semua a, b dalam R maka * komutatif.

Contoh I. 5 :
Operasi Å  didefinisikan pada bilangan bulat Z dengan aturan  a Å b = a + 2b.
Akan ditunjukkan bahwa Å  tidak komutatif dan tidak assosiatif.
Karena pada satu sisi
                        (a Å b) Å c = (a + 2b) Å c = (a + 2b) + 2c
dan pada sisi lain
                        a Å (b Å c) = a Å (b + 2c)
                                    = a + 2(b + 2c)
                                    = a + (2b + 4c)
                                    = (a + 2b) + 4c
dari  kedua hasil tersebut  tidak sama untuk c ¹ 0 maka  Å  tidak assosiatif.
Karena a Å b = a + 2b dan b Å a = b + 2a dan kedua hasil ini tidak sama untuk a ¹ b maka  Å  tidak komutatif.
Terlihat bahwa aturan untuk * tidak menjamin bahwa himpunan X tertutup di bawah operasi *. Berikut ini diberikan suatu cara untuk membuktikan bahwa suatu himpunan tertutup terhadap suatu operasi.

Untuk membuktikan sifat tertutup dari suatu sistem X dimulai dengan dua sebarang anggota yang dioperasikan dengan operasi * dan kemudian ditunjukkan bahwa hasilnya masih memenuhi syarat keanggotaan dalam X.

Untuk selanjutnya dalam tulisan ini R2 dimaksudkan himpunan semua pasangan berurutan dari bilangan real R2 = {(a,b) | a, b dalam R}.

Contoh I. 6:
Misalkan Å mempunyai aturan (a,b) Å (c,d) = (a+c,b+d).
Akan ditunjukkan bahwa R2 tertutup di bawah operasi Å .
Untuk sebarang (a,b) dan (c,d) dalam R2 berlaku
                                                (a,b) Å (c,d) = (a+c,b+d)
dengan a+c dan b+d dalam R sehingga (a+c,b+d) dalam R2.
Oleh karena itu hasilnya merupakan pasangan berurutan dan tertutup di bawah operasi Å.

Selanjutnya operasi < A , * > menyatakan himpunan A dan * merupakan operasi yang didefinisikan pada A.

Definisi I.3:
(1)   < A , * > memenuhi hukum identitas asalkan A mengandung suatu anggota e sehingga e*a = a*e = a untuk semua a dalam A. Anggota A yang mempunyai sifat demikian dinamakan identitas untuk < A , * >.
(2)   < A , * > memenuhi hokum invers asalkan A mengandung suatu identitas e untuk operasi * dan untuk sebarang a dalam A terdapat suatu anggota a’ dalam A yang memenuhi a*a’ = a’*a = e. Elemen a’ yang memenuhi sifat di atas dinamakan invers dari a.
Sebagai contoh, Z mengandung identitas 0 untuk operasi penjumlahan dan untuk setiap a dalam Z, anggota – a memenuhi a + (-a) = (-a ) + a = 0 sehingga a mempunyai invers terhadap operasi penjumlahan dan < Z , + > memenuhi hukum invers. Di samping itu Z mengandung identitas 1 terhadap operasi pergandaan tetapi Z tidak mengandung invers terhadap pergandaan kecuali 1 dan -1.

Untuk membuktikan hukum identitas dilakukan dengan menduga anggota tertentu e dalam himpunan yang berlaku sebagai identitas dan kemudian menguji apakah e*a = a dan a*e = a untuk sebarang a dalam himpunan.

Untuk membuktikan hukum invers dilakukan dengan sebarang anggota x dalam himpunan yang mempunyai identitas e dan menduga invers dari x yaitu x’ dalam himpunan dan kemudian menguji apakah x * x’ = e dan x’ * x = e.

Contoh I.7 :
Bila operasi didefinisikan seperti pada contoh I.6 maka akan dibuktikan bahwa hukum invers dan hukum identitas berlaku.
Diduga bahwa (0,0) merupakan anggota identitas.
Karena untuk sebarang (a,b) dalam R2  berlaku
            (0,0) + (a,b) = (0 + a, 0 + b) = (a,b)
dan (a,b) + (0,0) = (a + 0, b + 0) = (a,b) maka (0,0) identitas dalam R2.
Bila diberikan sebarang (a,b) dalam R2 maka akan ditunjukkan (-a,-b) dalam R2 merupakan inversnya
 Karena –a dan –b dalam R maka (-a,-b) dalam R2 .
Lebih jauh lagi ,
      (a,b) Å (-a,-b) = (a-a,b-b) = (0,0)
dan     
            (-a,-b) Å (a,b) = (-a+a,-b+b) = (0,0)
sehingga (-a,-b) merupakan invers dari (a,b) dalam R2 .


Contoh I.8 :
Bila *  didefinisikan pada R dengan aturan a * b = ab + a maka akan ditunjukkan bahwa < R, *> tidak memenuhi hukum identitas.
Karena supaya a * e sama dengan a untuk semua a haruslah dimiliki ae + a = a sehingga eperlulah sama dengan 0.
Tetapi meskipun a * 0 = a maka 0 * a  = 0 a + 0 = 0 yang secara umum tidak sama dengan a.
Oleh karena itu tidak ada e dalam R yang memenuhi a * e =a dan e * a = a.
Terbukti bahwa tidak ada identitas dalam R terhadap *.

4. Bukti dengan induksi

Dalam pembuktian biasanya diinginkan untuk membuktikan suatu pernyataan tentang bilangan bulat positif n. berikut ini diberikan dua prinsip tentang induksi berhingga.


Prinsip pertama induksi berhingga
Misalkan S(n) pernyataan tentang bilangan bulat positif n.
Apabila sudah dilakukan pembuktian :
(1) S(n0) benar untuk bilangan bulat pertama n0 .
(2) Dibuat anggapan induksi (induction assumption) bahwa pernyataan benar untuk suatu  bilangan bulat positif k ³ n0 dan mengakibatkan S(k+1) benar.
maka S(n) benar untuk semua bilangan bulat n ³ n0.

Contoh I.8
Akan dibuktikan bahwa 2n > n + 4 untuk semua bilangan bulat n ³ 3 dengan menggunakan induksi .
Bukti pernyataan benar untuk n0 =3.
Untuk n0 = 3 maka pernyataan 23 > 3 + 4 benar.
Asumsi induksi.
Dianggap pernyataan benar berarti 2k > k + 4 untuk suatu bilangan bulat k ³ 3.
Langkah induksi.
Dengan anggapan induksi berlaku 2k > k + 4 dan bila kedua ruas digandakan dengan 2 diperoleh 2 (2k) > k+4 atau 2k+1 > 2k + 8 dan jelas bahwa 2k + 8 >5 karena k positif sehingga diperoleh 2k+1 > k + 5 = (k+1) + 4.
Berarti bahwa dianggap pernyataan benar untuk S(k) maka sudah dibuktikan bahwa pernyataan benar untuk S(k+1).
Jadi dengan prinsip induksi maka S(n) benar untuk semua bilangan bulat n ³ 3.

Prinsip induksi berikut ekuivalen dengan prinsip pertama induksi berhingga tetapi biasanya lebih cocok untuk bukti tertentu.

Prinsip kedua induksi berhingga
Misalkan S(n) suatu pernyataan tentang bilangan bulat n.
Apabila sudah dilakukan pembuktian:
(1)   S(n0 ) benar untuk suatu bilangan bulat pertama n0.
(2)   Dibuat  anggapan  S(k) benar  untuk  semua  bilangan   bulat  k yang memenuhi n0 £ k  < m dan mengakibatkan S(m) benar.
maka S(n) benar untuk semua bilangan bulat n > n0.

Prinsip kedua induksi tersebut di atas dapat digunakan untuk membuktikan teorema faktorisasi berikut ini.

Teorema I.1
Setiap bilangan bulat positif n ³ 2 dapat difaktorkan sebagai hasil kali berhingga banyak bilangan prima yaitu n = p1 p2 ……pw..
Bukti
Untuk n0 =2 maka 2=2 yaitu faktorisasi dengan satu faktor prima.
Anggapan induksi adalah bahwa semua bilangan bulat positif k < m dengan k ³ 2 dapat difaktorkan sebagai hasil kali bilangan prima sebanyak berhingga.
Jika m bilangan prima maka jelas faktorisasinya adalah m = m.
Jika m bukan bilangan prima maka m mempunyai faktor sejati m = s t dengan s dan t lebih kecil dari m tetapi lebih besar atau sama dengan 2.
Dengan anggapan induksi maka s dan t mempunyai faktor prima yaitu:
                        s = p1 p2 … pu
dan
                        t = q1 q2 … qv
Oleh karena itu, m = s = p1 p2 … pu q1 q2 … qv  dan berarti m juga mempunyai faktor prima. Jadi dengan menggunakan prinsip kedua induksi maka teorema tersebut telah dibuktikan.
]

5.  Relasi ekuivalensi dan penyekatan

 Obyek matematika dapat direlasikan dengan yang lain dalam berbagai cara seperti:
                        m membagi n
                        x dibawa ke y dengan fungsi f
dan sebagainya. Secara intuitif relasi R dari suatu himpunan X ke himpunan Y adalah aturan yang memasangkan anggota X dengan anggota Y. Secara formal, relasi R dari X ke Y didefinisikan berikut ini. Pertama-tama didefinisikan hasil kali Cartesian X ´ Y sebagai himpunan pasangan berurutan { (x,y) | x dalam X dan y dalam Y }. Kemudian didefinisikan suatu relasi R sebagai himpunan bagian tertentu dari X ´ Y. Jika pasangan berurutan (s,t) anggota himpunan bagian tertentu untuk R maka ditulis s R t.

Contoh I.10
(a)    Relasi < didefinisikan pada himpunan bilangan real dengan sifat x < y jika dan hanya jika x – y positif.
(b)   Relasi membagi habis ( | ) didefinisikan pada himpunan bilangan bulat positif    dengan sifat m | n jika dan hanya jika n = mq untuk suatu bilangan bulat q.


Definisi I.4
Suatu relasi R pada himpunan X dikatakan mempunyai sifat:
(1)   Refleksif jika x R x untuk semua x dalam X.
(2)   Simetrik jika x R y menyebabkan y R x.
(3)   Transitif jika x R y dan y R z menyebabkan x R z
(4)   Antisimetris jika x R y dan y R x menyebabkan x = y.

Definisi I.5
Misalkan ~ relasi yang didefinisikan pada suatu himpunan X. Jika relasi ~ refleksif, simetrik dan transitif maka relasi ~ merupakan relasi ekuivalensi.


Contoh I.11
Diketahui f : A ® B suatu fungsi.
Jika didefinisikan pada A dengan x ~ y jika f(x) = f(y) maka dapat dibuktikan bahwa relasi ~ merupakan relasi ekuivalensi.

Suatu penyekatan (partition) dari himpunan X merupakan suatu keluarga himpunan bagian tidak kosong dari X yang saling asing dan gabungannya sama dengan X. penyekatan merupakan hal yang penting dalam matematika dan terdapat hubungan antara relasi ekuivalensi dan peyekatan. Jika x dalam X dan ~ relasi pada X maka dapat didefinisikan suatu kelas dari x yang dinotasikan dengan C(x) adalah himpunan semua y dalam x sehingga x ~y. jika ~ merupakan relasi ekuivalensi maka C(x) dinamakan ekuivalensi dari x.


Teorema 1.2 :
 Jika ~ suatu relasi ekuivalensi pada himpunan X maka keluarga kelas ekuivalensi C(x) membentuk penyekatan himpunan X.
Bukti :
Karena ~ refleksif maka x ~ x untuk senua x dalam X
Oleh karna itu,kelas C(x) mengandung x 
Misalkan C(x) dan C(y) mempunyai paling sedikit satu anggota serikat  z.
Maka x ~ z dan y~ z (berarti juga z~ y) dan akibatnya x ~ y
Hal itu berarti bahwa untuk setiap t sehingga  y ~ t  menyebabkan  x ~ t  dan diperoleh C(y) Í  C(x).
Dengan cara yang sama dapat dibuktikan pula bahwa C(y) Í C(x).
Akibatnya C(y) = C(x) sehingga kelas-kelas ekuivalensi yang bertumpang tindih akan sama dan kelas-kelas yang berbeda akan saling asing.
]






Latihan
1.      Misalkan A himpunan bagian B.
      Buktikan bahwa A Ç B = B dan A È B = B.
  1. Diketahui A = n{6m | m dalam Z }, B = {4m | m dalam Z } dan
C = {12m | m dalam Z }.
      Buktikan bahwa A Ç B = C.
  1. Diberikan operasi * dengan aturan a * b = - a b dengan a dan b bilangan bulat.
    1. Jelaskan mengapa * operasi biner pada Z.
    2. Buktikan * assosiatif.
    3. Buktikan bahwa * komutatif.
    4. Buktikan bahwa Z mengandung suatu identitas terhadap operasi *.
    5. Jika a dalam Z maka tentukan z’ dalam Z terhadap operasi *.
  2. Buktikan bahwa 1 + 5 + 9 + … + (4n + 1) = (2n + 1) (n + 1) untuk semua n ³ 0.
  3. Relasi didefinisikan pada himpunan oprang-orang dan dikatakan bahwa a ~ b jika dan hanya jika a dan b mempunyai hari ulang tahun yang sama(tidak perlu tahunnya sama)
a.       Tunjukkan bahwa ~ merupakan relasi ekuivalensi.
b.      Berapa banyak kelas-kelas ekuivalensi yang ada ? Jelaskan !
  1. Berikan contoh suatu contoh relasi yang disamping mempunyai sifat simetrik juga mempunyai sifat antisimetrik dan jelaskan mengapa relasi itu mempunyai kedua sifat tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar